Monday, January 13, 2014

Bab 1

Inara
Aku nggak pernah percaya sama yang namanya meet cute. Sumpah. Hal-hal seperti itu cuma ada di novel sama film. But as a girl, wajar dong berharap? Apalagi aku udah single buat waktu yang lumayan lama, padahal dulu rencanaku mau nikah muda biar jarak sama anakku nggak terlalu jauh, biar aku masih bisa ngikutin pola pikir mereka. Pikiranku terlalu jauh ya? Memang.
“Gimana, Nar? Ada ide lain?” suara Rio, ketua pelaksana perayaan ulang tahun kampus serta pemimpin rapat hari ini, membuyarkan lamunanku. Tergagap, aku memandang sekeliling sekaligus memutar otak untuk mendapat jawaban yang masuk akal.
“Hmm… ide gue kurang lebih sama sih kayak kalian sekarang,” ujarku. Jawaban yang aman. Jadi nggak akan ditanya-tanyain lagi. Aku sudah akan melanjutkan lamunanku tadi saat tiba-tiba pintu yang berada tepat di belakangku diketuk. Duh salah banget baca novel sebelum rapat, sekarang jadi kepikiran macem-maem, runtukku dalam hati.
“Sorry banget gue terlambat.” Aku menoleh ke asal suara itu. Ergi, ketua divisi acara, datang dengan senyum khasnya. Aku selalu suka melihat Ergi. Badan tegap, dada bidang, rambut terpotong rapi, ramah pula. Bukan berarti aku suka sama dia loh yaa, aku cuma kagum aja. Sumpah. Rahangnya tegas, mata sipit. Suaranya… menenangkan? Pokoknya aku suka deh. Mataku tak lepas dari Ergi, memalukan. Yah anggap saja aku ngefans ama dia. Walaupun temen-temenku masih lebih suka sama cowok-cowok lain macam Rio atau Satya, tapi aku lebih suka melihat Ergi.
Rapat kembali dilanjutkan oleh Rio, aku kembali ke lamunanku.


Seusai rapat, aku mengecek iPhone-ku, ada beberapa iMessage dari Kiara. Pesan terakhirnya baru saja sampai.
Kiara: Naaar rapat sampe jam berapa? Mau ikut makan gak? Kalo mau, gue sama Natya jemput sekarang di gerbang depan.
Inara: Gimme 5. Otw gerbang depan.
Aku berjalan cepat menuju gerbang depan saat suara Rio memanggilku. “Inara! Sini bentar!” Urgh, nggak tahu apa aku lagi buru-buru. Aku membalikkan badanku. Rio dan Ergi masih berdiri di depan ruang rapat tadi.
“Nar, lo kan kadiv humas. Ergi minta tolong dibikinin surat undangan buat ngasih tahu bakal ada acara apa aja tahun ini, terutama lomba-lomba yang bersifat olahraga. Buat isinya apa aja, bisa tanya langsung ke Ergi,” ujar Rio. Aku sengaja melirik jam tanganku berkali-kali agar terlihat sedang terburu-buru.
“Oh iya? Duh gue buru-buru nih. Nanti gue hubungin lo lagi deh, Gi,” ujarku tak sabar.
“Catet nomer gue ya, Nar. 0828 280289,” ujar Ergi dengan suaranya yang berat namun renyah. Aku mencatat nomornya, lalu segera pamit kepada mereka berdua.
Sesampainya di gerbang depan, mobil Natya sudah menunggu. Aku masuk ke pintu belakang.
“Kok lama sih?” protes Kiara.
“Tadi dipanggil bentar sama Rio. Mau makan dimana nih kita?” tanyaku. Rapat tadi benar-benar menguras tenagaku, walaupun sebenarnya aku tidak melakukan apapun selama rapat.
“Apa ya? Ke daerah Setiabudhi aja yaa. Gue lagi pengen sushi nih,” ujar Natya sambil mengarahkan mobil ke arah Setiabudhi. Aku dan Kiara hanya mengangguk.
“Gimana tadi rapatnya?” tanya Kiara, membuka sesi cerita-cerita, oh well maksudku sesi gossip, kami.
“Datar as usual. Bikin daftar fix rangkaian acara tahun ini. Senin ngasih proposal ke rektorat,” jawabku datar.
“Gimana Rio, Nar?” kini gantian Natya yang bertanya. Aku tersenyum malas. Akhirnya sampai juga pada topik ini.
“Baik-baik aja kok. Kenapa? Kangen?” aku berusaha mengalihkan pembicaraan dari topik yang sangat kuhindari, yaitu…
“Kenapa sih lo nggak sama dia aja? He’s cute, Nar. Gue nggak ngerti kenapa lo nggak tertarik sama dia, padahal gue yakin dia mau sama lo. Buktinya aja dia jadiin lo kadiv,” ujar Kiara.
Nah benar kan dugaanku, akhirnya topik pembicaraan kami kali ini adalah jodoh-jodohan. Ralat, jodoh-jodohin aku sama semua orang.
“Enak aja! Dia mah jadiin gue kadiv karena kompentensi, bukan karena dia suka sama gue,” jawabku santai. Padahal dalam hati aku bete banget. Natya dan Kiara tertawa. Aku tahu mereka hanya bercanda tapi tetap saja, rasanya integritasku dipertanyakan.
Memang sih, Natya dan Kiara adalah sahabatku di kampus dan maksud mereka baik, pengen jodohin aku sama orang biar aku nggak single lagi. Padahal mereka berdua juga single. Tapi semangat mereka buat ngejodohin aku patut diacungi jempol. Tiap minggu pasti ada nama baru untukku.


Akhirnya kami memilih Sushi Tei sebagai tempat makan kami. Untungnya tidak terlalu ramai, males banget kalau harus masuk waiting list padahal kami sudah lapar banget. Setelah memesan, aku mengecek hp, merasa ada yang harusnya kulakukan walaupun aku lupa apa. Natya dan Kiara sedang heboh berdebat tentang siapa yang seharusnya membuat surat pengantar.
“Ya sekretarislah. Humas tuh yang nganter-nganterin doang. Iya kan, Nar?” tanya Kiara heboh. Aku yang sedang berusaha mengingat-ingat langsung tersentak.
“Ah untung lo ngingetin gue, Kiiiiii!” ujarku heboh sambil memeluk Kiara. Dengan muka bingung, Kiara berusaha melepaskan diri.
Aku mengambil iPhone-ku lalu membuat pesan baru ke Ergi.
Inara: Jadi harus bikin surat apa Gi?
Aku kembali meletakkan iPhone-ku, lalu kembali melanjutkan obrolan dengan Natya dan Kiara. “Tadi lo nanya apa?”
“Itu kalo surat-surat gitu, yang bikin sekretaris kan? Kalo humas mah cuma yang nganter-nganterin doang,” ujar Kiara.
“Hmm iya juga sih…” aku jadi kepikiran sama tugasku untuk bikin surat. Kenapa jadi aku yang bikin coba, padahal kan bikin surat bukan jobdesc-ku.
“Ah gue paling gak suka deng kalo Inara udah bengong. Spill it, Nar! I knew something happened,” ujar Natya. Aku heran dia jitu banget kalo ngebaca gerak-gerik orang. Beda banget ama Kiara yang lebih heboh. But I love them both kok.
“Hah? Gapapaaa. Tadi si Rio ngasih tugas ke gue bikin surat pengantar. Gue jadi kepikiran gara-gara kalian ngomong kaya gitu. I mean, itu kan harusnya kerjaan Hasna,” jawabku. Mata Natya langsung berbinar. Duh blunder. Harusnya aku nggak usah nyebut nama Rio.
“I knew it! Tuh kan Rio sengaja nambah-nambahin kerjaan lo. Ihh fix banget he’s into you, Nar,” ujar Natya bersemangat. Kutarik lagi deh kata-kataku barusan soal Natya. Kiara langsung bersemangat. Sementara aku ingin menenggelamkan diri ke pasir hisap.


Di mobil, aku nggak banyak berbicara. Aku sibuk ngobrol dengan Ergi ngebahas apa yang harus kukerjain. Iya, yang harusnya Hasna kerjain. Oh iya, Hasna itu sekretarisnya Rio di kepanitiaan ini.
Ergi: Cuma bikin surat edaran buat tiap jurusan kalo ada kumpul hari Rabu depan, buat ngasih tahu bakal ada apa aja di acara tahun ini.
Inara: Ok
Ergi: Emang sih seharusnya yang bikin suratnya Hasna. Tapi Rio kasian ama dia soalnya udah deadline bikin proposal ke rektorat.
Inara: Slow
Ergi: Suratnya kalo bisa Senin beres ya Nar. Soalnya lo juga yang harus ngebagiin suratnya nanti. Kalo gue kosong gue temenin deh.
Inara: Gapapa gue ada bawahan kok
Ergi: Okay. Kalo belom ada temen bilang gue aja Nar. Gue pengen sekalian keliling-keliling kampus nih
Inara: Sip
“Kemana nih kita habis ini?” tanya Natya. Jalanan cukup padat sore itu.
Aku diam saja. Maksudku, kan masih ada Kiara yang bisa menjawab pertanyaan Natya.
“Aduh Nar jawab kali. Lo sibuk banget deh dari tadi. Lagi chatting sama siapa sih?” tanya Natya lagi. Bener-bener deh menguras kesabaran banget punya sahabat seperti mereka.
“Hmm… Ergi ini lagi minta tolong,” jawabku asal.
“Jadi sebenernya yang minta tolong Ergi atau Rio nih?” cecar Natya.
“Rio minta tolong ke gue buat nolongin Ergi. Complicated, kan?” maksudku menjawab seperti itu biar mereka nggak nanya-nanya lagi.
Tapi ternyata respon mereka di luar dugaanku. “Aaah gue ngerti sekarang. Ergi minta Rio buat bikin dia deket sama lo, Nar.”
“NGACO!” sumpah pahalaku pasti banyak banget sejak temenan sama mereka. Tingkat kesabaranku meningkat tajam.
Natya dan Kiara tergelak. Aku mendengus kesal, namun tak bisa menahan senyumku.
“Lagian kenapa nggak Hasna aja sih yang ngerjain?”
“Rio kasihan sama Hasna katanya, lagian kan Hasna harus ngerampungin proposal kegiatan ke rektorat.”
Dan terima kasih Tuhan karena telah menganugerahi otak penuh prasangka dan gossip kepada Kiara. “Ahhh jangan-jangan Rio yang naksir ama Hasna.”
Aku tersenyum, tak bisa menghilangkan kesenanganku karena topik telah berganti. Dan mobil Natya pun diisi oleh cerita-cerita tentang Rio dan Hasna.


Aku baru tiba di kosan pukul 12 malam, setelah berkeliling Paris van Java bersama dua sahabatku. Aku segera membersihkan diri. Setelah semua bersih dan siap tidur, aku memandangi cermin. Rambut panjang, tinggi badan sedang – oke sebenarnya rendah sih tinggi badanku hanya 150 cm, mata bulat berwarna coklat tanpa harus menggunakan soft lens, kulit cukup putih.
Sejujurnya masalah pasangan bukan sesuatu yang penting menurutku. I’ve been single for about 3 years and I think that’s okay. Keluargaku juga nggak terlalu memaksakan aku untuk segera punya pasangan. Lagipula aku kan masih muda, tahun ini umurku 20 tahun. Rasanya aku masih punya banyak waktu untuk mencari pasangan.
Aku mengeluh dalam hati. Semua karena Natya dan Kiara, aku jadi kepikiran. Tahu kan? Saat kamu didesak oleh orang-orang di sekitarmu padahal hal itu tidak penting. And I’m an overthinker. Semua hal kupikirin, terutama hal-hal yang nggak penting kaya gini. Padahal aku udah janji sama diri sendiri, nggak mau mikirin hal-hal seperti ini.
Dan ingatanku kembali ke kisah cintaku 3 tahun terakhir. Nggak ada yang berhasil. Jujur saja, aku takut sama komitmen. Agak berlebihan sih sebenarnya. Habis kesannya berlebihan saja, terikat. Padahal kan masih banyak waktu untuk pilih-pilih. Lagian aku nggak mau punya hubungan sama orang terus tiba-tiba putus begitu saja karena aku bosan. Untuk urusan pasangan, aku nggak mau main-main. Dan aku memutuskan untuk tidak membuka hati kepada siapapun hingga waktu yang tidak bisa ditentukan.

1 comment: